Iya, ini euforia. Akan ada saatnya melankolia begini hilang. Bakal ada waktunya saya berhenti sentimentil berlebihan kayak gini. Tapi, untuk malam ini aja, boleh ya?
Mulanya hanya buka bersama biasa. Kumpul, makan, salat berjamaah, games, foto-foto. Makrab biasa. Sesi kuliah standar, bahkan membosankan. Badminton dan futsal yang tak pernah luar biasa: yang dipukul masih bulu angsa dan yang ditendang tetap bola (yaiyalah). Rutinitas umum.
Sayangnya, lantas kita menerima segala hal yang tak istimewa. Terbiasa.
Seperti kata teman saya,”Ya kayak kita yang tiga tahun se-kos ini lah. Kelakuan kita mah, secara objektif aja, enggak istimewa-istimewa banget. Sisi yang nyebelin malah selalu ada. Masalah enggak habis-habis. Bosen? Harusnya. Tapi, toh kita terima semua orang ini dengan segalanya mereka: yang sering drama, yang karaoke sampai jam tiga pagi, yang suara volume standarnya ngalahin alarm hape paling kenceng. Akhirnya kita ternyata bisa terbiasa dengan semua ini dan tetap baik-baik saja.
Dan pas mereka ini ‘mendadak hilang’ nanti, pasti ada rasa nggak rela...”
Gitu deh katanya. Well, sebetulnya perbandingan di atas dia pakai buat menjelaskan konsep rumah tangga, tapi yasudahlah...
Lanjut.
Waktu buka bersama tadi, Goris dan Abdi bilang kelas ini beda dari yang pernah mereka punya. Pun saya. Semoga yang lainnya juga.
Ada tingkat penerimaan yang beda-beda di tiap kelas yang dialami, dan sepanjang di STAN rasanya paling diterima di sini.
Selalu ada yang menyambut tiap ada ajakan jalan/olahraga/kumpul/tentir, dan selalu ada yang ngajak. Selalu ada komentar di bawah wall grup FB yang gejenya astaga-naga-bonar-jadi-dua sekalipun. Selalu ada 3Dharma Wanita yang mau diajak sleep-over padahal agendanya hanya nonton via layar buram 15”, main Uno, dan bobok bareng bin donor darah ke nyamuk. Selalu ada yang siap sedia untuk poker, kapanpun di manapun, dari pojok kelas, teras vila puncak, sampai di jalan tol. Bukan, bukan dalam kendaraan yang sedang lewat tol, tapi betul-betul di jalannya. Di atas aspalnya. Iya, saya tahu. Kelas saya tampaknya memang tidak berbakat jadi normal.
Selalu ada tempat untuk semuanya, dari yang ramai sampai yang paling hening. Dari yang pasang wallpaper One Piece sampai SNSD. Dari yang berpuisi sampai muter-muter kursi :p. Dari lagu Jawa ala sinden Listy, petikan gitar Canon in D-nya Goris, rock klasik, sampai dangdut-goyang-Karawang-koplo-full-remix. Dari Jambu-Janjimu-Janji-Busuk sampai JLo-On The Floor dan Insyaallah-Maher Zein. Dari yang di kamarnya pasang tulisan “H-4 Kompre: Akuntansi Aku Padamu” sampai yang hafal koreo 7icons.
Dari makrab di lapangan A pukul 11 malam (iya, jarkomnya bilang gitu), lengkap sampai bawa-bawa bantal-selimut-gitar-kacang; hingga seminggu tentir kompre yang intensif membantai latihan soal sampai dini hari (peluk suhu Tutus ^^-). Dari yang menjaga untuk tak pacaran sampai yang jumlah mantannya tembus dua digit. Dari yang rutin memantau peredaran scanlation di Mangashare sampai pembaca Dale Carnegie dan War and Peace-nya Leo Tolstoy (beeuh). Dari perakit program akuntansi yang dibayar jutaan sampai pemenang liga PES (Winning Eleven? Pro Evolution Soccer? Itu deh pokoknya). Dari, ehem, Ariel Peterpan sampai Ikke Nurjanah. Dari seputaran Jakarta sampai ujung Sumatra dan Sulawesi. Dari saya sampai kamu.
Terbiasa. Menerima. Lalu tahu-tahu udah H-40 hari sebelum yudisium. Abis itu pisah. Galau lah.
Lebay? Iya. Tapi begini, ada yang waktu SMP atau SMA merasa dekat banget dengan kelasnya/temennya? Nah, pas mau pisah kan galau juga tuh. Kebawa ‘home high-school sick’ sampai awal kuliah. Sekarang? Biasa saja. Ketemu mereka pun malah kadang canggung, beda banget rasanya karena udah pada berubah. Kenyambungan dan kedekatannya tak sama dengan dulu. Halah.
Jadi mohon maafkan ya kalau tulisan ini terlalu berlebih kadar sentimentilnya. Cuma sementara, kok. Sebentar lagi. Ketika tulisan ini diposting di blog kelas, saya yakin rasa kayak gini udah menguap sebagian tanpa bisa ditahan.
Karena jarak merenggangkan dan waktu memudarkan.
Terus, ngapain ditulis kalau ini cuma sementara dan mungkin hilang dalam hitungan menit?
Sebagai perekam. Supaya saya ingat pernah merasa sedemikian melankolis tengah malam sampai bikin tulisan dua halaman sambil muter lagu menye, terus-menerus selama dua jam, ’cuma’ gara-gara suatu acara buka bersama. ‘Hanya’ karena suatu kelas di STAN yang sebetulnya cuma berdurasi satu tahun dari hidup kita yang panjangnya telah berlipat dari itu.
Karena saya tahu, akan datang masa ketika kita berjarak, ketika saya lupa pernah seperti ini, ketika grup kelas sepi posting dan tak se-geje dahulu, ketika hashtag #eaaa atau #cieee menjadi usang karena pemakainya telah berkepala empat. Ketika, meski sekarang ‘keliling Jawa 10 jam jalur darat’ terasa biasa dan masuk akal, tapi nanti, reuni angkatan yang jaraknya satu jam pesawat saja akan sebegitu sulitnya.
Jadi, sebelum waktu secara tanpa kompromi bikin saya amnesia tentang kelas ini, saya catat. Lima tahun lagi, ketika saya baca lagi, mungkin saya akan nepok jidat dan mikir,”Yasalaam Tulaaad tulisannya kok kayak hasil persilangan spesies ababil ama alay gini!” Nggak apa-apa. Yang penting saya nggak lupa pernah dikasih berkah sedemikian rupa. Supaya, ketika nggak deket lagi dan enggan datang reuni, tulisan ini mengingatkan betapa kalian layak disyukuri dan diperjuangkan untuk ditemui.
...nggak jamin juga sih, apalagi kalau penghalangnya kombo anak+suami+tugas kantor, hahaha. Kata kakak-kakak kelas kita gitu. Realitanya memang demikian. Setelah ini, masa kuliah bakal jadi kemewahan.
Kan, malah galau lagi.
Terus salah siapa? Salah gue? Temen-temen gue? Ponakannya-menantu-kakek tirinya-adik angkat-tetangga-sebelah-rumah gue?
Iya, salah kalian, 3D.
Kalau kata Bala, “Darn you!” Coba kalau 3D nggak dihuni orang-orang baik kayak kalian, pasti malam ini saya bisa tenang, melewati malam dengan wajar, belajar kompre. Coba kalau kalian nggak menghasilkan tawa tiap ketemu, nggak melewati momen-momen sederhana tapi bikin kangen, nggak bikin nyaman sampai sedemikian...
Tapi kalau udah terlanjur, gimana?
02.00 WIB
Minggu, 20 Ags 2010
“Menari” – Maliq & D’Essentials, “Don’t Know Why” – Norah Jones, dan “Shine On” – Jet.
Cuma itu saja. Berturut-turut. Dua jam nonstop. Kan, parah kalian...
...lanjutkan baca...